MENDIDIK ORANG TUA DALAM MENDIDIK ANAK SELAMA PJJ
Semarang (31/07/2021) – Masa pandemi ini mengubah proses pembelajaran dari yang offline menjadi online dan kemudian kita kenal sebagai Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Pada PJJ, siswa diminta untuk belajar dari rumah dan pembelajaran dilakukan via online meeting ataupun Whatsapp Group (WAG). PJJ ini sangat membutuhkan bantuan orang tua di rumah untuk mendampingi anak, sebab guru tidak bisa langsung mengajari anak. Namun terkadang hal ini menjadi menyulitkan orang tua, sebab tidak semua orang tua memiliki pengetahuan dan kesabaran yang cukup untuk mengajari anak. Bahkan terkadang ketidaktahuan orang tua terhadap anaknya juga semakin menyulitkan keadaan. Bu Hendro, salah satu warga RW 04 Kelurahan Sawahbesar, Kecamatan Gayamsari mengatakan bahwa banyak orang tua dengan anak yang masih SD kesulitan dalam mengajari anaknya selama PJJ. Bahkan yang mengerjakan tugas anak malah orang tua, dikarenakan orang tua kebingungan mengajari anak agar dapat memahami materi yang harus dipelajari.
Survei KPAI pada tahun 2020 menunjukkan bahwa dari 1.700 responden yang merupakan siswa dari jenjang TK – SMA di 20 provinsi, terdapat 76,7 % siswa yang menyatakan tidak senang dengan PJJ ini. Kesulitan pembelajaran jarak jauh (PJJ) juga dirasakan orang tua yang bertambah bebannya karena harus menjadi guru di rumah, mengajari membuat tugas-tugas, dan selalu memonitor anaknya. Bisa dibayangkan jika anak lebih dari satu dan masih perlu pendampingan dalam mengerjakan tugas, belum lagi harus menyiapkan makanan dan pekerjaan rumah tangga lainnya. Sedangkan bagi orang tua yang bekerja dan juga sedang menjalankan pekerjaan dari rumah, kesulitan dan tantangannya akan bertambah karena selain mendampingi anak belajar, juga mempunyai tugas pekerjaan kantor yang harus diselesaikan oleh para orang tua. Penelitian Tanoto Foundation juga mengungkap bahwa kesulitan orang tua selama PJJ ini ada tiga, yaitu kurang sabar, sulit memahami materi, dan sulit menjelaskan materi.
Menurut Piaget, anak pada usia 7-11 tahun berada pada tahap operasi konkret. Pada tahap ini, kemampuan berpikir logis anak mulai berkembang akan tetapi terhadap hal-hal yang nyata, bukan abstrak. Sehingga akan sangat baik ketika mengajarkan anak pada usia ini dengan menggunakan media tertentu, tidak dengan cara menyuruh membayangkan.
Intervensi yang akan diberikan berupa psikoedukasi untuk menjelaskan kepada orang tua mengenai tahapan perkembangan pada anak yang harus dipahami terlebih dahulu agar orang tua bisa memahami karakteristik anak berdasarkan tahapan perkembangannya. Dengan memahami karakteristik anak ini, orang tua akan dapat menemukan cara yang lebih tepat dalam mendampingi belajar anak, seperti menciptakan suasana belajar yang variatif, menggunakan alat bantu belajar, menetapkan durasi belajar yang ideal, dan juga memberikan reward atas capaian anak. Rahmad Sudarto, warga RW 04 Kelurahan Sawahbesar, Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang, menyampaikan bahwa pembelajaran yang kreatif sangat dibutuhkan agar anak dapat termotivasi dalam belajar dan hal ini penting untuk dihadirkan oleh guru dan juga orang tua di rumah. Sebagai orang tua, Rahmad juga mengaku penting sekali motivasi belajar anak ini dibangun oleh orang tua di rumah, misal dengan mendampingi anak selama belajar dan juga memberikan reward atas capaian anak dalam belajar.
Penulis: Agung Maulana Surbakti (Psikologi)
DPL: Muhammad Zulfa Alfaruqy, S.Psi., M.A.