Gurihnya “Jagung Ceples” Khas Desa Kedungsari
Kedungsari (25/7) – Upaya pengolahan produk pertanian khususnya jagung sangat beragam. Salah satu cara unik untuk mengolah jagung menjadi makanan ringan adalah usaha emping jagung milik Pak Sarwadi. Terletak di dusun Dukoh, Desa Kedungsari, RT 02 RW 03, usaha “Emping Jagung Cap Udang“ telah didirikan sejak tahun 1989. Usaha Emping Jagung miliknya merupakan usaha keluarga, sehingga seluruh proses produksi dan distribusi dikerjakan sendiri. Salah satu anaknya juga berkecimpung dalam usaha pembuatan makanan ringan, sehingga usaha Bapak Sarwadi dapat diteruskan oleh anaknya. Emping Jagung Cap Udang tersedia di supermarket milik Depkes dan minimarket di sekitar kecamatan Tayu dan Margoyoso.
Proses pembuatan emping jagung atau biasa disebut “jagung ceples” cukup mudah karena tergolong sebagai home industry. Jagung direbus dengan campuran batu gamping supaya empuk, kemudian dicuci bersih dan direndam selama satu hari. Dilanjutkan dengan proses penanakan sampai kulit jagung terkelupas dan pemipihan. Jagung yang sudah dipipihkan dijemur dibawah sinar matahari dan didinginkan selama satu jam. Apabila memasuki musim hujan, maka jagung dapat dikeringkan menggunakan oven. Setelah digoreng, emping jagung dibumbui dengan garam dan bawang putih dan siap dikemas.
Usaha Emping Jagung memang menjanjikan, mengingat tingginya minat konsumen dan kompetisi bisnis yang tidak terlalu ketat. Emping jagung mulai dilirik oleh konsumen dari luar kota, beberapa meminta supaya produk Bapak Sarwadi dapat dijual di Jakarta. Bahkan seorang pengusaha dari Brebes sempat mengunjungi kediamannya untuk belajar usaha emping jagung dan kemudian mengembangkan usaha emping jagung yang lebih besar. Namun Bapak Sarwadi lebih memilih produknya dijual dalam skala kecil, mengingat kurangnya lahan dan keawetan emping jagung miliknya yang hanya bertahan kurang lebih lima belas hari. “Masalahnya kalau mau dikembangin lagi harus ada tempat jemuran, lahan kami terbatas”. Apabila usahanya dikembangkan dengan bantuan pihak lain sebagai penyedia lahan maupun pegawai, maka diperlukan bagi hasil sehingga harga produknya semakin meroket. “Kalau kerjasama harganya makin mahal, saya lebih suka usaha keluarga karena tidak perlu repot bagi hasil” pungkas Bapak Sarwadi.