Jangan renggut Hak Kami dengan Pernikahan Dini
Sedan, Rembang – (30/1) Seperti kisah yang pernah ngetop di televisi nasional sekitar tahun 90 an, Pernikahan dini masih sering terjadi di Kabupaten Rembang. Pernikahan dini merupakan pernikahan diusia yang menurut aturan pemerintah belum di”perkenan”kan untuk menikah. Pernikahan dini terkadang bisa menimbulkan suatu problematika yang rumit didalam sebuah keluarga. Salah satu desa yang masih masuk dalam daftar angka pernikahan dini yang tinggi adalah di Desa Sedan, Kecamatan Sedan. Hal ini menggerakkan dosen Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Mas’ut, S.Ag., M.S.I dan Tim kegiatan pengabdian kepada masyarakat untuk melakukan sosialisasi mengenai perubahan undang-undang perkawinan, berkolaborasi dengan program mahasiswa KKN Tim I Universitas Diponegoro 2020 Desa Sedan yaitu Zulfyar Ilham Ramadhan dari Fakultas Hukum.
Sosialisasi bertajuk “Peningkatan Pemahaman Hukum di Masyarakat mengenai Pernikahan Dini” ini dilaksanakan pada hari Selasa, 28 Januari 2020 yang bertempat di Pendopo Balai Desa Sedan. Sosialisasi ini ditujukan bagi ibu-ibu anggota Program Keluarga Harapan (PKH) Desa Sedan untuk memahami bahaya pernikahan dini dan menghimbau tidak menikahkan anaknya pada usia dini. Acara ini juga dihadiri oleh Perangkat Desa Sedan, para pendamping PKH Desa Sedan serta Apri Dwi Anggo, S.Pi, M.Sc dan Ir. Imam Pujo Mulyatno, M.T., AMRINA selaku Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) KKN Undip di Kecamatan Sedan.
Zulfyar sebagai pembicara pertama menjelaskan mengenai azas/prinsip hukum perkawinan Islam yang tertuang dalam UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 (dan diperkuat dalam Kompilasi Hukum Islam). Lalu, penjelasan mengenai Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta hak anak yang dilanggar jika terjadi pernikahan dini.

Tujuan perubahan norma dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini menjangkau batas usia untuk melakukan perkawinan, perbaikan norma menjangkau dengan menaikkan batas minimal umur perkawinan bagi wanita. Dalam hal ini batas minimal umur perkawinan bagi wanita dipersamakan dengan batas minimal umur perkawinan bagi pria, yaitu 19 (sembilan belas) tahun. Batas usia dimaksud dinilai telah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang sehat dan berkualitas.
Hak anak yang dilanggar, antara lain (1) pendidikan; 80% perempuan yang menikah sebelum 18 tahun tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, (2) bebas dari kekerasan; 44% pelaku pernikahan dini mengalami KDRT, dan (3) kesehatan; risiko kematian (ibu & anak) dari persalinan dini karena badan ibu belum cukup matang, bayi berpotensi lebih tinggi mengalami stunting.

Sebagai pembicara kedua, Mas’ut, S.Ag, M.S.I menghimbau agar para ibu tidak menikahkan anaknya pada usia dini dikarenakan melanggar hak anak seperti yang sudah dijelaskan. Pembicara mengatakan bahwa pendidikan tinggi itu penting agar anak berpendidikan dan menaikkan derajat anak sehingga kelak mendapatkan pasangan yang sederajat atau lebih tinggi. Mas’ut, S.Ag, M.S.I memberikan perumpamaan, jika menikah di usia yang matang layaknya berlayar di laut menggunakan kapal besar yang dapat menerjang ombak. Sebaliknya, jika menikah diusia dini layaknya berlayar menggunakan kapal kecil yang mudah terombang-ambing oleh ombak.

Sosialisasi ini mendapatkan respon positif, baik dari perangkat desa maupun ibu-ibu PKH peserta sosialisasi. Peserta sosialisasi aktif dalam berinteraksi dengan pembicara, bahkan salah satu warga mengemukakan pendapatnya di akhir acara mengenai kalimat “JANGAN RENGGUT HAK KAMI” yang tercetak pada backdrop. Acara ini ditutup dengan foto bersama.
Editor: Mas’ut