Peningkatan Perekonomian Masyarakat Melalui PKM Diversifikasi Gulma Enceng Gondok Menjadi Olahan Pakan Ternak Mandiri Berbasis “PPO” (Penepung dan Pengering Otomotis) di Desa Asinan Bawen, Kabupaten Semarang

Semarang, Eceng gondok (Eichornia crassipes) merupakan tumbuhan air yang tumbuh di rawa-rawa, danau, waduk dan sungai mempunyai aliran tenang. Tanaman ini tumbuh cepat di daerah tropis dan subtropics. Eceng gondok dianggap sebagai gulma yang dapat merusak lingkungan perairan. Pengendalian pertumbuhan eceng gondok telah dilakukan melalui berbagai upaya, mulai dari pengangkatan, penebaran ikan pemangsa alga dan pemanfaatan eceng gondok. Pemanfaatan eceng gondok yang selama ini dilakukan hanya dengan membuat kerajinan dan pupuk padat.

Selasa (09/04/2019), Tim Program Kemitraan Masyarakat (PKM) Universitas Diponegoro yang di ketuai oleh Dr.Ing. Novie Susanto, S.T., M.Eng. melaksanakan pengabdian masyarakat “Peningkatan Perekonomian Masyarakat Melalui PKM Diversifikasi Gulma Enceng Gondok Menjadi Olahan Pakan Ternak Mandiri Berbasis “PPO” (Penepung dan Pengering Otomotis) di Desa Asinan Bawen, Kabupaten Semarang” bersama UKM Upoyo Mina, Desa Asinan Kecamatan Bawen Kabupaten Semarang.

UKM Upoyo Mina merupakan suatu usaha industri yang sangat berpotensi dan merupakan sumber penghasilan penduduk desa Asinan yang mempunyai kapasitas 500 kg / 6 bulan (120 bal @ Rp.15.000,-). Sebelumnya di wilayah Asinan terdapat 6 industri pelet ikan, tetapi kini hanya tersisa 2 industri pelet ikan termasuk UKM Upoyo Mina. UKM Upoyo Mina memiliki karyawan sebanyak 6 orang yang terdiri dari 2 orang pengantar ke distributor dan 4 orang mengemas serta mengolah eceng gondok sampai jadi hasil akhir berupa pakan ikan. Apabila tidak dilestarikan lama kelamaan keberadaan UKM pelet ikan tersebut semakin langka.

Tim PKM Universitas Diponegoro memberikan bantuan peralatan yang mampu mengatasi permasalahan, yaitu berupa mesin penepung mekanis otomotis. UKM Upoyo Mina mengalami hambatan dalam proses produksi dan kapasitas produksi pelet ikan. Hambatan tersebut berada pada proses pencampuran bahan produksi (penepungan). Proses pencampuran bahan produksi dilakukan dengan proses penumbukan menggunakan alat tradisional dan membutuhkan waktu yang lama sampai 1 jam untuk 4 kg bahan produksi. Hal ini menyebabkan kapasitas produksi terbatas dan tidak dapat memenuhi permintaan pasar.