Paham Saja Tak Cukup, Bagaimana Membuat Masyarakat Mematuhi Protokol Kesehatan Menurut Psikologi?
(Bekasi 03/08/2021). Sebulan terakhir, Republik Indonesia sedang berjuang melawan gelombang kedua (second wave) COVID-19. Bayangkan saja, dalam satu hari, jumlah kasus yang tercatat dapat mencapai 30.000 hingga lebih dari 50.000 kasus. Hal ini membuat tenaga kesehatan harus berjuang keras mencegah terjadinya kolaps. Bahkan, pada awal Juni, rumah sakit rujukan COVID-19 hampir hampir penuh. Persediaan oksigen pun menjadi langka. Tidak hanya itu, perekonomian juga menjadi lesu akibat diselenggarakannya PPKM serta menurunnya daya beli masyarakat.
Di tengah situasi yang masih cukup mengkhawatirkan, diperlukan usaha ekstra untuk menekan laju penularan COVID-19. Demi keberhasilannya, usaha ini harus dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat. Mulai dari pemangku kekuasaan yang bertanggung jawab membuat kebijakan, hingga masyarakat luas yang harus mematuhi protokol kesehatan.
Tapi sayangnya, meski COVID-19 sudah hadir di indonesia sejak awal tahun 2020, hingga kini masyarakat masih banyak yang tidak mematuhi protokol kesehatan, salah satunya warga RT 002/014 Dukuh Zamrud, Kelurahan Padurenan, Kecamatan Mustika Jaya, Bekasi. Memang, meski sudah lebih dari setahun, informasi terkait COVID-19 masih tidak merata, ditambah maraknya hoax yang tersebar di media sosial.
Pertanyaannya, benarkah pelanggaran protokol kesehatan semata-mata terjadi karena rendahnya pemahaman masyarakat? Wah, sayangnya, menurut survey lokasi KKN yang dilakukan Nafa Aurellia, seorang mahasiswa psikologi Undip, kurangnya informasi bukan satu satunya penyebab lho!
Dalam rangka penyelenggaraan KKN, pada bulan Juni 2021, Nafa Aurellia melakukan survey lokasi dengan cara bertanya kepada warga RT 002/014 Dukuh Zamrud, Kelurahan Padurenan, Kecamatan Mustika Jaya, Bekasi. Satu hal yang menarik, rupanya akses terhadap informasi seputar COVID-19 di RT 002/014 sudah cukup baik. Warga pada dasarnya sudah memahami bahwa mereka seharusnya mematuhi protokol kesehatan. Namun dalam aplikasinya, protokol tersebut masih sering dilanggar.
Kok bisa ya?
Sebenarnya, dalam psikologi hal ini dapat dijelaskan dengan Health Belief Model. . Health Belief Model (HBM) adalah sebuah model yang dibuat pada tahun 1950, yang bertujuan untuk memahami mengapa individu kesulitan dalam mengikuti program pencegahan dalam konteks kesehatan. yaitu perceived severity, perceived susceptibility, perceived benefits, serta perceived barriers.
Individu dengan perceived severity yang tinggi cenderung melakukan tindakan preventif, dikarenakan mereka sadar akan tingkat keparahan dari suatu penyakit. Individu dengan perceived susceptibility tinggi cenderung mengadopsi perilaku pencegahan, yang dimana individu merasa rentan/mudah tertular penyakit tersebut, sehingga individu terdorong untuk melindungi diri mereka. Selain itu, individu dengan perceived benefits yang tinggi cenderung mengadopsi tindakan preventif. Ini dikarenakan bahwa individu yang mempercayai akan manfaat dari sebuah tindakan akan lebih terdorong untuk melakukannya. Selain itu, perceived barriers juga dianggap suatu hal yang dapat mempengaruhi kecenderungan individu dalam mengadopsi tindakan preventif. Dapat dikatakan bahwa individu dengan barrier yang rendah akan cenderung melakukan tindakan preventif. Keempat komponen HBM inilah yang kemudian dapat menjelaskan secara lengkap terkait kecenderungan individu dalam melakukan tindakan preventif selama pandemi.
Didasari oleh teori tersebut, Nafa akhirnya menyelenggarakan program KKN berjudul “Pemahaman Risiko, Dampak, dan Pencegahan COVID-19 berdasarkan Health Belief Model”. Melalui program ini, diharapkan warga RT 002/014 dapat lebih memiliki motivasi yang kuat untuk mematuhi protokol kesehatan.
Program ini dilaksanakan secara daring dalam bentuk sharing dan diskusi melalui grup WhatsApp Ibu-ibu RT 002/014. Luaran dari program ini ialah booklet dengan judul “Mengenal Risiko Dampak dan Pencegahan COVID-19”. Program ini dilaksanakan secara daring sebagai bentuk usaha pencegahan COVID-19. Guna mencegah COVID-19, masyarakat perlu menahan diri untuk berkumpul dan membuat kerumunan.
Akan tetapi, print out program ini juga tetap diberikan kepada perwakilan RT 002 dan RW 014. Dengan demikian, jika ada warga yang kurang memahami isi booklet atau kurang nyaman jika hanya melihat melalui handphone, dapat menghubungi pihak RT dan RW untuk memperoleh print out booklet yang sebelumnya disebarkan melalui grup WhatsApp.
Selama pelaksanaan program ini, warga cukup antusias dalam pelaksanaan program. Warga secara aktif bertanya kepada Nafa mengenai COVID-19, meliputi penularan COVID-19, informasi seputar vaksin, mutasi varian Delta, dll
Dengan dilaksanakannya program ini, masyarakat diharapkan memiliki motivasi lebih besar untuk mematuhi protokol kesehatan, sebab mereka memiliki perceived severity, perceived susceptibility, perceived benefits, serta perceived barriers yang lebih baik pula.
Penulis: Nafa Aurellia Azizah (Fakultas Psikologi, Universitas Diponegoro
Dosen Pembimbing Lapangan: Zaki Ainul Fadli, S.S., M.Hum