SOSIALISASI PENCEGAHAN PERNIKAHAN DINI: PERLUKAH BAGI REMAJA?
Pada hari Sabtu (6/08/2022), di Desa Lemahireng, Kecamatan Bawen, telah berlangsung kegiatan sosialisasi tentang pencegahan pernikahan dini yang dilakukan oleh mahasiswa KKN Tim II Universitas Diponegoro. Kegiatan yang dilangsungkan dengan tujuan sasaran adalah para remaja yang termasuk dalam perkumpulan remaja IRAMA (Ikatan Remaja Namar) telah mendapat respon positif dan keaktifan dari para remaja yang ikut serta.
Kegiatan sosialisasi dengan tema pencegahan pernikahan dini dilakukan mengingat ternyata Desa Lemahireng mendapat peringkat tertinggi dalam pernikahan yang dilakukan dalam usia anak dari seluruh desa dan kelurahan yang ada di Kecamatan Bawen. Hal ini tentu perlu menjadi perhatian setiap pihak, karena pernikahan dini sejatinya menimbulkan banyak dampak yang sejatinya akan merugikan, baik dari pihak suami maupun pihak isteri. Banyak pihak yang masih beranggapan bahwa pernikahan dini adalah solusi dari permasalahan ekonomi, mencegah fitnah, dan juga adalah solusi preventif daripada nanti sudah terlanjur terjadi accident karena anak-anak yang sudah mulai berhubungan dengan lawan jenis di usia muda. Padahal, Pernikahan di usia anak sangat rawan terjadi perceraian karena emosi pasutri yang masih labil, pendidikan yang belum cukup dari pasutri, pekerjaan/penghasilan yang belum tetap, bahkan dapat berbahaya pada tumbuh kembang anak nantinya (stunting dan wasting), pun dengan hak-hak anak yang nantinya tidak dapat terpenuhi secara optimal dan maksimal karena pihak ibu maupun ayah yang sejatinya belum siap memiliki anak. Pernikahan usia anak juga akan mengakibatkan putus sekolah, sehingga pendidikan-pendidikan yang hanya dapat didapat di sekolah akan menjadi terhambat (kehidupan sosial, pendidikan formal, nilai, norma, sosial yang di sekolah tidak dapat didapat karena putus sekolah).
Apabila didasarkan dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pernikahan di Indonesia idealnya dilakukan saat usia mempelai pria dan wanita berada pada usia 19 tahun. Secara logikanya, maka pada usia tersebut, baik pihak isteri maupun suami paling tidak sudah melaksanakan aturan pemerintah untuk batas pendidikan 12 tahun, secara hukum sudah mampu menjadi subjek hukum (bisa dipertanggungjawabkan perbuatan dan tindakannya), paling tidak sudah cukup usia untuk mencari pekerjaan, paling tidak secara usia sudah mampu dianggap dewasa secara mental (bukan masuk usia remaja yang sedang mencari jati diri lagi) dimana paling tidak apabila berdasarkan usia dapat dikatakan bahwa secara fisik dan psikis sudah cukup dewasa untuk hidup berkeluarga dan melanjutkan keturunan berdasarkan perkawinan yang sah.
Mengingat bahwa di dalam UU Nomor 16 Tahun 2019 sudah dinyatakan dengan lebih tegas bahwa perkawinan dalam usia anak hanya bisa dilakukan apabila memang ada kepentingan mendesak yang mana kedua belah pihak calon mempelai harus menyatakan pendapatnya di muka Pengadilan untuk mendapatkan “dispensasi”, maka diharapkan untuk ke depannya semakin banyak muncul kesadaran tentang pencegahan pernikahan dini, baik dari orangtua, keluarga, pemerintah, bahkan terkhusus bagi para remaja yang belum cukup usia sesuai undang-undang agar tidak terkena dampak negatif dari pernikahan dini.
Penulis : Deonise Araujo (Ilmu Hukum – Hukum S1)
DPL : Nikie Astorina Yunita D., SKM., M.Kes.
Lokasi : Desa Lemahireng, Kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang
#KKNTimIIperiode2022 #p2kknundip #lppmundip #undip